Antusias adik bungsuku untuk jalan-jalan keliling kampung begitu berapi-api. Maklum setelah hampir enam bulan saya tidak pulang kampung karena disibukkan dengan kegiatan dikampus akhirnya ada waktu sengga untuk pulang kampung. Ditengah kesibukkan adik perempuanku menjaga kios sembako yang di buka oleh ibu, saya mengajaknya untuk ikut serta menikmati indahnya kampung halaman disore hari. Sijago merah (Bukan Api) mengantar kami keliling hingga melewati beberapa desa tetangga.
Dengan suara mulusnya bagai putri anggun turun dari tangga istana tanpa
bunyi sentakan kaki terus mendaki bukit demi bukit hingga sampai di desa
Raimuna yang jaraknya hingga 4 kilo meter setengah dari rumah. Sijago merah
berhenti tepat di perempatan menuju kabupaten buton utara yang sekarang menjadi
terminal mobil yang menunggu penumpang untuk meneyeberang dari raha tujuan ke buton utara yang
dekat dengan tujuan kunjungan kami.
Maligano yang dulunya minim mobil, Alhamdulillah hari ini berkat usaha
pemerintah dengan membangun jalan yang layak, akhirnya jalur dari kabupaten
satu ke kabupaten lain menjadi mudah
untuk dilalui dengan menggunakan kendaraan roda 4. Dimasa kecilku mobil itu
menjadi barang langka yang masuk dikampungku seperti mobil avanza, terios atau
jenis lainnya kecuali truck. Tapi
berbeda dengan kendaraan laut seperti kapal kayu, bodi batang, sampan
dan lain-lain yang digunakan sebagai kendaraan laut, itu hamper bisa ditemukan
disetiap sisi pantai.
Seiring berjalannya waktu keadaan itu berubah. Daerah kami punya dermaga
yang cukup baik, terminal mobil yang cukup bahkan jumlah mobil tak terhitung
lagi. Penumpang yang berniat ke buton utara bila menyebrang dari kota raha
tidak perlu khawatir lagi karena mobil siap mengantar ketujuan, asal ke terminal karena mobil tidak
datang menjemput ke pelabuhan. Jarak antara pelabuhan dengan terminal itu
sekitar 3 kilo meter dari pelabuhan sehingga penumpang mobil dari pelabuhan
harus naik motor atau ojek untuk sampai ke terminal.
Naik ojek bukan keinginan namun aturan main yang menghendakinya. Ada aturan
yang disepakati antara sopir mobil yang mencari penumpang dengan tukang ojek.
Di kecamatan maligano, selain bertani dan melaut, mata pencahariannya sebagai tukang ojek. Jadi karena ojek lebih dulu muncul, jadi regulasinya mobil hanya bisa mengambi
penumpang diterminal karena kalau mobil datang menjemput ke pelabuhan maka
tukang ojek yang berprofesi sudah bertahun-tahun ini bakal kehilangan
perkerjaan artinya pengangguran akan bertambah dan ujungnya akan pada
ketidaktenangan lingkungan.
Tak lama kemudian saya mengparkirkan sijago merah ‘”sebutan motorku” di bawah pohon beringin dekat terminal mobil dan
menghampiri warung makan bibiku yang dibangunnya tidak jauh dari rumah dan
terminal tadi. Karena pada dasarnya bibiku baik hati dan tidak sombong, saya
dipersilahkan untuk mencicipi beberapa jualan yang dibuatnya mulai dari ubi
goreng, sukun goreng, hingga pisang goreng. Kalau makan berat yang dijualnya
ada ikan bakar, dan ada juga es pisang ijo tidak ketinggalan roti goreng
serta jagung rebus. Tapi tentunya
saya tidak mencicipinya satu persatu karena mau ditaruh dimana.
Ditengah asiknya menikmati potongan sukun goreng bersama kedua adikku yang
malu-malu tapi mau tambah, dan bibi yang asyik menggoreng potongan sukun yang
lain saya menghampirinya untuk menanyakan sesuatu tentang usaha warung
makannya. Pertanyaan pertama yang saya ajukan tentang seberapa banyak pengunjung
yang datang makan diwarung ini. Dengan wajah yang berminyak serta tangan yang berlumur terigu dia
menjawab kalau pengunjung itu pasang surut. Kadang banyak kadang tidak
tergantung jika ada momen atau ada acara yang mau dihadiri di kabupaten
sebelah. Karena mereka pasti singgah untuk istrahat baik langsung makan siang
atau hanya singgah menunggu penumpang lain untuk mengisi kursi kosong mobil
yang satu tujuan.
Setelah dia menceritakan banyak hal tentang warungnya baik dari tantangan,
persaingannya dan hal-hal lain hingga tentang sekolah anak-anaknya yang juga
sepupu-sepupuku, saya coba
mengajukan pertanyaan paling sensitive yang biasanya berlaku kepada para pedagang
yaitu tentang pendapatannya. Alhamdulillah walaupun terlihat lelah diwajahnya
namun dia tetap dengan semangat menjelaskannya kepada saya dan ternyata pendapatannya
dalam satu hari itu bisa mencapai 500 ribu kalau sunyi dan bisa menjapai diatas
satu juta kalau sedang ramai pengunjung menarik bukan?
Menurut info dari dia selain warung makan yang laris, salah satu barang
yang cukup laris adalah bensin. Karena pengendara kendaraan bermotor yang
melakukan perjalan jauh antar kabupaten tadi lebih memilih untuk singgah
mengisi bensin di situ karena mereka bisa langsung istirahat, minum kopi,
merokok sembari menunggu teman yang akan melakukan perjalanan searah karena
dalam perjalanan nanti melewati hutan rimba yang belum disentuh oleh manusia
keberadaannya dan penuh cerita horror.
Berselang beberapa menit terdengar panggilan PIIIIIIIS dari belakang warung
makan. Ternyata itu adik sepupuku yang memanggil sambil menancapkan satu
persatu batang nilam ke dalam polibag. PIIIIIIIS adalah cara kami memanggil
dalam lingkup keluarga. PIIS itu kalau dipanjangkan dan aslinya adalah PISA. PISA merupakan bahasa muna yang
berarti sepupu jadi apa bila ada kalimat anoa pisaku itu artinya dia sepupuku.
Aini pisaku artinya ini sepupuku dan awatu pisaku artinya sana sepupuku.
Ditemani sang ayah yang memotong satu demi satu batang nilam yang bakal
ditanam dalam polibag sementara sebelum dipindahkan ditanah untuk dibesarkan,
dia dengan semangat dengan ditemani siulan merdu terus menancapkan batang
batang siap tanam itu kedalam polibag. Nilam dalam bahasa latin disebut
sebagai Pogostemon Cablin Benth). Dalam perdagangan internasiona minyak nilam
ini dikenal dengan sebutan minyak patchouli
yang artinya daun hijau yang dikarenakan minyak bersumber dari dedaunan hijau
tumbuhan nilam. Pada dasarnya tumbuhan yang menghasilkan minyak ini digunakan
sebagai pengharum pakaian atau biasa disebut Parfum. Bahkan di india minyak
nilam ini digunakan sebagai pengharum permadani (wordpress.com).
Ada hal baru bagi saya setelah mendengarkan pengakuan sang ayah dalam
bincang bincang kami bahwa ternyata tidak semua batang nilam bisa tumbuh dengan
baik apabila pemotongannya tidak tepat.
Karena, agar nilamnya bisa tumbuh cepat dan bagus, potongannya itu harus
tepat dekat pada bagian ruasnya dan harus disisakan beberapa helai daun mudah.
Waktu yang digunakan hingga nilam siap dipindahkan dari polibag ke tanah
memakan waktu hingga dua minggu. namun tergantung pada kesiapan nilam
sepenuhnya jika akan dipindahkan yang
ditandai dengan munculnya akar-akar baru dari barang nilam. Dilakukannya polibag
ini dimaksudkan untuk mempercepat proses munculnya akar, tunas dan terpenting
lagi dapat ditempatkan ditempat yang
teduh hal ini dilakukan untuk menjaga
terik matahari yang berlebihan karena bisa berakhir pada layunya bibit nilam
yang mulai tumbuh dengan dibuatkannya atap penahan terik matahari yang
menyinari secara langsung. Mungkin ada cara lain
dalam proses pembibitan hingga penanaman nilam ini tetapi inilah cara yang
mereka tempu para petani nilam disana.
Selain itu dalam proses polibag tadi kita bisa mengontrol kebutuhan air
dari nilam itu agar bisa tumbuh dengan
subur. Pohon nilam yang telah dipanen sebelum diproses untuk menghasikan minyak
nilam harus dijemur terlebih dahul agar minyak yang dihasikan banyak dan harum.
Proses penjemuran nilam itu bisa memakan waktu hingga satu hari dan ditandai
dengan istilah patah lidi (orang setempat) menyebutnya. Patah lidi artinya
batang nilam yang dijemur itu apabila dipatahkan tidak serta merta satu batang
nilam tadi menjadi dua tetapi tetap satu walaupun patah. Patah lidi inilah yang
menandakan nilam itu sudah siap untuk diolah agar menjadi minyak nilam. Batang
dan daun nilam bisa tercium aroma wanginya terkecuali sudah mengalami proses
penjemuran atau nilam itu kering.
Dalam proses pemasaranya juga tidak terlalu sulit. Karena didesa lain yang
masih dalam kabupaten sudah memiliki alat penyulingan minyak nilam seperti di
desa kambara, desa guali dan beberapa desa lagi seperti barangka dan wakorambu.
Namum salah satu kendala yang sering dihadapi adalah kurangnya modal dari
penampung sekaligus pelaku penyuingan. Beberapa kali mereka (petani) nilam ini
memenuhi permintaah para penyuling tadi tapi terkadang mereka tidak mendapatkan
bayaran full dan terpaksa mereka harus menunggu karena daripada di tamping
dirumah yang berpotensi menurunkan berat dari nilam itu sehingga dengan sangat
terpaksa mereka rela menunggu.
Hal lain yang menjadi tantangan dari para petani nilam adalah permainan
para penyuling yang notabenenya pebisnis yang mengklaim bahwa nilam yang mereka
miliki para petani dicampur dengan daun-daunan lain. Menurut mereka nilam itu tidak bisa laku terjual.
padahal, itu hanya permainan mereka agar para petani bisa menjual murah nilam
yang mereka miliki ungkap seorang pengumpul nilam disana.
Beberapa orang petani nilam dikecamatan maligano juga merangkap sekaligus
sebagai pengumpul dari petani. Walaupun jumlahnya tidak begitu banyak namun
persaingan diantara mereka sangat ketat dengan cara memainkan informasi harga.
Terkadang mereka mengambil dari petani 3 ribu rupiah per kilogram nilam kering,
karena persaingan dikalangan pengumpul ini harga jualnya juga bisa mencapai 5
ribu perkilo gram walaupun angka ini jarang di capai.
Dalam kondisi tanah yang subur di kecamatan maligano seharusnya menjadi surga
bagi para petani nilam. Namun apa daya sokongan pasar yang terbatas membuat
mereka menjadi petani yang mengeluarkan keringat banyak namun degan penghasilan
yang kurang. Memang dari penghasilan mereka yang menyuling cukup besar karena setengah
ton nilam yang dilakukan penyulingan bisa mencapai harga jual 70 jutaan.
Harga terrendah yang pernah diterima para petani yaitu 1500 per kilogram. Bisa kita bayangkan begitu murahnya harga jua yang mereka
dapatkan dibandingkan dengan kerja keras mereka hingga menghasilkan nilam
kering tersebut. Ini terjadi ketika pertama kalai mereka memanen
nilam yang ditanamnya. Para petani menjual dengan harga yang sangat murah
karena mereka tidak punya pilihan atau mau dibawa kemana hasil pertanian itu.
Dalam kondisi seperti ini mestinya fungsi pemerintah daerah dijalankan dengan
baik. Pemerintah mestinya menyediakan pasar bagi para petani untuk menjual
hasil panen nilam mereka dengan harga beli yang memadai bagi para petani.
Seorang petani nilam disana pernah
mengungkapkan merencanakan untuk membeli alat penyulingan sendiri dan ternyata
harga penyulingan itu lebih dari 50 jutaan bahkan hingga mendekati angka 100
juta. Logikanya kalau hanya sekedar petani yang bermodalkan semangat kerja
dikebun sangat sulit untuk mampu membeli alat semahal itu apalagi dengan harga
jual nilam mereka yang relative rendah. Pemerintah mestinya memberikan solusi, apakah membangun industry
penyulingan, atau kah memberikan bantun kepada masyarakat petani nilam dengan
model berkelompok kemudian para petani diberikan alat penyulingan atau lebih
jauh mencari investor yang siap menampung hasil pertanian nilam itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ini adalah masalah yang sedang bangsa hadapi
ditengah upaya bangkit dari keterpurukan. Kita ingat dulu bahwa Negara kita
pernah menjadi macan asia karena kekuatan ekonominya tapi faktanya
bagaimana dengan kondisi sekarang? Cukup memprihatinkan. Para petani belum bisa
menikmati hasil keringatnya dengan sesegera mungkin. Para petani masih bingung
dengan pasaran hasil perkebunan mereka.
Memang jumlah petani nilam di Maligano sekarang ini belum sebanyak semut yang
ditumpahkan gula pasir sesendok makan di lantai. Namun potensi itu ada dengan daya dukung lahan yang
luas, kesuburan tanah, serta kerja keras petani yang mengesankan. Beberapa petani
berharap masalah yang mereka hadapi dapat cepat terselesaikan dan jumlah petani
nilam bisa bertambah serta kesejahteraan masyarakat bisa tercapai. karena merekapun mengungkapkan itu “ kami
sebenarnya mau menanam nilam tapi mau dijual kemana? Kalaupun ada harganya rendah
sekali”
Akhir tinta semoga pemerintah daerah cepat merespon.