Umur
perkuliahan yang sudah tidak muda lagi membuat saya tidak bisa mengelak dalam
penulisan tugas akhir untuk meraih gelar Strata 1 di universitas halu oleo.
Tidak mudah menyelesaikan tulisan itu hingga berakhir di meja ujian skripsi. Waktu,
tenaga dan pikiran harus dikerahkan bersamaan untuk menghasilkan sebuah tulisan
yang bermanfaat untuk diri, dan pihak yang membutuhkann informasi terkait
tulisan yang kita buat.
Kurang
lebih 5 bulan saya berusaha menyelesaikan tugas akhir itu dan Alhamdulillah
tulisan itu kelar dan berhasil masuk hingga ke meja ujian. Tantangan yang saya
dapatkan tidak sedikit. Mulai dari ketidak sepahaman penguji dengan saya
terkait bahan dan teori yang saya masukkan dalam tulisan itu, permintaan
pembimbing untuk memperlihatkan semua bahan/buku bahkan data sebagai literature
yang saya gunakan hingga biaya yang cukup banyak. Cobaan ekstrim lagi adalah
surat permohonan data saya ditolak oleh pihak penyedia data bank Indonesia
karena dianggap tidak sesuai standar surat permohonan data.
Dibalik
tantangan itu, saya juga sadar bahwa itu merupakan bagian dari perjuangan saya
untuk meraih gelar sarjana dan terpenting adalah this is a process. Agak
berbeda antara proses yang saya lewati pada saat memasukkan judul penelitian di
jurusan tempat saya kuliah. Beberapa orang teman dalam memasukkan judul
mengalami penolakan dari pihak jurusan baik karena penelitiannya kurang
menarik, tidak up to date, atau sudah pernah diteliti orang lain tanpa
perbedaan sedikit pun.
Judul
yang saya masukkan langsung diterima oleh sekretaris jurusan IESP Fekon Unhalu
karena dianggap memenuhi syarat untuk menjadi tugas akhir. Judul penelitian
yang saya pilih adalah Analisis Beban Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia
periode 2005-2011. Memang sedikit berbeda dengan teman-teman, judul yang saya
masukkan karena sebelumnya saya telah mempersiapkan rancangan penulisan serta
proposal awal untuk mendukung penelitian itu diterima. Hingga akhirnya saya
diberikan pembimbing yang kompeten dibidang itu pada hari yang sama.
Saya
sadar seiring berjalannya waktu, mulai dari mencoba memahami ilmu ekonomi
hingga benar-benar menuangkan pengetahuan itu dalam sebuah tulisan ilmiah bahwa
Indonesia adalah macan Asian yang tertidur. Semenjak Indonesia merdeka
pembangunan mulai dilakukan oleh pemerintah bersama-sama rakyat diluar tekanan
para penjajah. Diera soeharto Indonesia menjadi macan asia yang menjadi salah
satu Negara yang dipandang dimata dunia dan akhirnya digulirkan pemerintahannya
pada tahun 1998 karena dianggap tidak lagi mampu memimpin Indonesia yang
dibuktikan dengan krisis yang menjadikan Indonesia drop.
Secara
teoritis pembangunan di pahami sebagai suatu proses menuju perubahan kearah
yang lebih baik. Kita juga memahami bahwa
perubahan yang lebih baik itu merupakan sebuah rangkaian tindakan yang
tidak memberikan dampak buruk. Selain itu, pembangunan di bagi menjadi dua
bagian yaitu pembangunan seimbang dan pembangunan tidak seimbang. Pembangunan
seimbang yang dimaksud disini adalah pembangunan yang dilakukan secara
menyeluruh atau mencakup semua sector baik sector social, ekonomi hingga sector
budaya.
Sedangkan pembangunan yang tidak
seimbang dapat dipahami sebagai model pembangunan yang dilakukan tidak merata
kesemua sector. Dan model ini yang biasanya dilakukan oleh beberapa Negara atau
khususnya kepala daerah di Indonesia. Hal ini tidak bisa serta merta diklaim
sebagai bentuk pembangunan yang buruk tapi lebih pada pembangunan yang
menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah itu. Sehingga pemerintah
seoptimal mungkin untuk meningkatkan kemampuan keuangannya melalui penyerapan
pajak dari masyarakat, investasi dalam dan luar negeri hingga memutuskan
mengambil utang luar negeri untuk membiayai pembangunan.
Era
presiden soeharto dikenal sebagai zaman dimana pembangunan Negara repoblik
Indonesia didanai oleh utang luar negeri. Utang luar negeri itu di putuskan
untuk dilakukan dengan tujuan mengstimulus pembangunan di Indonesia. Awalnya
benar, bahwa peminjaman itu berdampak positif terhadap pembanguna Negara walaupun
disatu sisi Negara menanggung beban utang itu. Beban utang luar negeri adalah
kewajiban yang harus dikembalikan atau dibayarkan dalam bentuk uang kepada pihak
yang memberikan pinjaman baik institusi, lembaga ataupun Negara.
Utang
yang berat akan membebani perekonomian suatu Negara karena disetiap tahunnya
Negara mesti menggolontorkan anggaran sekian banyak untuk membayarkan beban
utang itu belum lagi bunga dan nilai pinjaman. Seiring berjalannya waktu, pembangunan
terus dilakukan hingga mencapai titik maksimal.
Indonesia
adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang besar. Semenjak Indonesia
merdeka berbagai terobosan terus dilakukan pemerintah baik dari pengembangan
sumber daya alam hingga upaya nasionalisasi perusahaan yang dikuasai oleh
bangsa asing. Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ekspor minyak
dan berbagai bahan galian lain hingga hasil hutan, perkebunan dan lain lain di
pasar internasional. Dengan terobosan ini, Kondisi keuangan bangsa Indonesia
tergolong baik dalam artian mampu menghadapi goncangan ekonomi.
Hingga
saat ini pembangunan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI) tidak terlepas
dari utang. Baik utang luar negeri
maupun utang dalam negeri yang dilakukan pemerintah dan swasta. Aktifitas utang
antara negara ini dengan negara lain hanya bersifat gali lubang tutup lubang.
Negara ini meminjam uang untuk kembali menutupi utang yang sudah jatuh tempo
pembayaran. Beban yang berat terus dirasakan dalam neraca keuangan bangsa ini.
Bagi
masyarakat awam yang hanya tahu utangnya berapa yang ada dikios tetangganya
akan hanya tersenyum melihat dan mendengar fakta utang negera. Acuh tak acuh
pasti akan terlihat kepada mereka. Mereka tidak sadar dengan implikasi dari
beban utang kepada mereka. Malang nasip kakek nenek, adik kakak dan keluarga
kita hari ini yang masih bertanya-tanya kapan merasakan kebahagiaan atas rahmat
kemerdekaan.
Utang
negara menjadi beban pembangunan negeri ini. Tingkat kesejahteraan masyarakat tertunda
karena harus dialokasikan untuk membayar beban utang. Beban utang negara yang
semakin lama membebani anggaran APBN yang akhirnya minus pula APBN yang dari
tahun ketahun dianggarkan. Kita tidak dapat berbuat banyak untuk biaya
pembangunan selain utang. Kesalahan lama kini menjadi kebiasaan bagi negeri
ini. Ironisnya hari ini utang luar negeri pemerintah bukan hanya terjadi karena
terpaksa namun dikarenakan kepentingan politik. Motifasi utang luar negeri
bukan semata mata karena kebutuhan untuk pembangunan namun dilator belakangi
keinginan pemimpin negeri ini membuat dinasti yang bersifat pencitraan dinegeri
ini.
Kita
sadar bahwa hari ini potensi sumber daya yang ada di negeri ini miliki belum
optimal dalam pengelolaannya. Masih banyak sumber daya yang tidak masuk sebagai
pendapatan negara dan malah salah alamat (Pribadi). Banyak pemimpin kita
terjerat hukum baik korupsi dan lain-lain.
Pengawasan pengelolaan sumber daya belum maksimal yang mengakibatkan
banyaknya oknum yang merusak sumber daya itu dan menjadikan sumber daya itu
sebagai pendapatan pribadi tanpa sedikit pun masuk sebagai pendapatan negara.
Banyak hutan dinegeri yang dilakukan penebangan liar, barang produksi dalam
negeri kalah bersaing dengan barang impor.
Kekuatan
ekonomi negeri ini hampir kembali dalam jajahan pasar asing. Ketakutan kedua
muncul dimana kita tidak lagi dijajah secara fisik namun dijajah secara halus
namun menyakitkan (Ekonomi). Beban negeri ini semakin berat. Masyarakat jauh
dari garis kesejahteraan yang baik. Yang kaya jadi kaya dan yang miskin semakin
tertindas. Utang untuk anggaran pembanguna dinegeri ini terus meningkat. Tahun
2011 utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai U$118.642 juta. Sampai kapan negeri ini akan
terbebani dengan utang.
Beberapa
ahli ekonomi terus berspekulasi tentang utang luar negeri Indonesia untuk
membiayai pembangunan negeeri ini. Ada yang mengatakan suatu kemustahilan untuk
bangsa ini terlepas dari utang luar negeri. Utang luar negeri kini menjadi
lahan paling empuk untuk menjadikan tameng pembiayaan pembangunan walaupun
sadar akan resikonya. Warisan beban kepada anak cucu yang berkesinambungan
menjadi buah santapan di masa depan yang rasanya begitu pahit.
Hitung-hitungan
ekonomi dari berbagai sumber mulai bermunculan untuk menilai apakah beban utang
negeri ini masih tergolong rendah atau sudah mencapai titik angker yang jika
dilewatinya sama halnya lompat ke dalam jurang api neraka. Beberapi model dan
metode diciptakan untuk menilai kemampuan suatu negara dalam menanggung beban
utangnya. Salah satu dari beberapa model itu digunakan bangsa kita dulu dan
hingga saat ini.
Otoritas
keuangan pun menggunakan hitungan-hitungan dalam menilai beban utang negara
ini. Salah satu metode analisis yang digunakan adalah DSR (Debs Service Rasio). DSR digunakan untuk melihat apakah negara itu
masih ememiliki kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya. Al hasil ya
seperti itu. Hitungan ini terus menunjukan bahwa beban utang luar negeri kita
masih dalam taraf wajar dalam artian potensi sumber daya yang dimiliki bangsa ini
akan mampu menutupi beban utang itu. Padahal bisa saja hal itu juga karena
latar belakang politik.
PDB
Indonesia digadang-gadang masih mampu membiayai beban utang negar ini. Padahal apabila
dilihat dalam penlitan, pada tahun 2005
hingga tahun 2011, Rasio Utang Kumulati (KUR) kita terhadap PDB berada diatas
garis psikologis dengan satandar 30 persen. Rata rata RUK kita dari tahun 2005
hingga 2011 mencapai 35 persen. Angka
ini menunjukan bahwa kewajiban finansial dari pemerintah terhadap besarnya
kapasitas produksi yang digambarkan dengan PDB
masih cukut tinggi. 35 persen dari PDB kita mesti dialokasikan untuk
membayar beban utang dan cicilan utang luar negeri khususnya pemerintah.
Kita
mesti membebankan 35 persen PDB untuk membayar beban utang. Seharusnya PDB ini, yang nilainya hingga
milyar hingga triliunan bisa dialokasikan untuk membentuk kesejakteraan rakyat.
Faktanya apa? Negara ini terus melakukan utang. Pembiayaan pembangunan seakan
menemuai jalan buntu. DSR lagi-lagi menjadi kambing hitam untuk melakukan
utang. Bisa dilihat bahwa DSR yang menghitung beban utang luar negeri
pemerintah Indonesia memang masih menunjukan angka yang relative aman. Rata
rata berdasarkan hitungan DSR, beban utang luar negeri pemerintah Indonesia
masih tergolomg aman yang hanya berada pada kisaran 1 hingga 21 persen baik
yang dibandingkan dengan ekspor bersih, ekspor kotor sektor migas, non migas.
Selama ini batas aman yang digunakan dalam melihat tingkat kemampuan negara
dalam mencicil utang dan beban utang dalam DSR adalah 20 persen. Karena angka
DSR itu masih berada dibawah 20 persen sebagai batas aman, sehingga pemerintah
masih dengan tenang untuk berutang.
Persoalan
yang kemudian muncul adalah bagaimana status perhitungan dengan metode DSR itu.
Apakah DSR masih pantas digunakan untuk menilai kemampuan negara ini dalam
membayar beban utang dan utangnya. DSR pada hakikatnya dapat digunakan kepada
negara yang memiliki surplus ekspor karena metode ini membandingkannya dengan
ekspor suatu negara. Negara yang notabenenya ekspornya lebih rendah disbanding
dengan impornya tidak boleh menggunakan metode ini karena tidak tepat.
Melalui
tulisan ini pula saya ingin menghangatkan metode S-Rasio yang diperkenalkan
oleh Sritu Arif. Berdasarkan hasil penelitian yang saya dapatkan bahwa angka
S-Rasio utang luar negeri pemerintah Indonesia berbeda dengan perhitungan
menggunakan metode DSR. Kita bisa lihat bahwa angka DSR pada tahun 2005 hingga
tahun 2008 masih relative aman. Hal ini berbeda hasilnya dengan penghitungan
S-Rasio yang selama 3 tahun itu yang beradah dibawah garis kemampuan suatu
negara dalam menanggung beban utang.
Dalam
metode S-Rasio ditentukan apabila nilai S-Rasionya masih berada diatas angka 1
atau satu maka dinyatakan bangsa itu masih mampu menanggung beban utangnya. Namun,
apabila itu berada dibawah angka 1 maka segharusnya pemerintah mengurangi
kebiasaan mengutang itu karena akan sangat membebani dan berpotensi
menghilangkan nilai kesejahteraan asyarakat yang seharusnya diperoleh.
Tahun
2009 angka S-Rasio utang luar negeri pemerintah Indonesia mengalami peningkatan
melebihi angka 1. Artinya memang pada tahun ini cadangan devisa kita mencukupi
untuk membayar beban utang Luar negeri pemerintah Indonesia. Hal yang harus
diperhatikan adalah bagaimana dengan tahun berikutnya. Kita bisa melihat angka
penurunan S-Rasio itu yang kembali muncul. Ini menggambarkan bahwa ada
pelemahan cadangan devisa kita dan sebaiknya pemerintah meresponnya dengan
mengurangi utang luar negeri itu. Karena jika pemerintah mampu meredam laju
kapasitas outstanding utang karena disisi devisa netto masih mencukupi untuk
membiayai beban utang luar negeri pemerintah Indonesia, Diwaktu yang bersamaan,
masyarakat akan mendapatkan manfaat yang lebih besar karena pengurangan pajak dalam
negeri.
Pada
dasarnya S-Rasio itu digunakan untuk melihat kemampuan negara menanggung beban
utangnya seperti metode DSR. Namun dalam metode ini membagikan nilai saldo
transaksi berjalan yang tidak termasuk bunga utang luar negeri dengan cicilan dan bunga utang luar negeri
pemerintah Indonesia. Sehingga tepat adanya jika metode ini digunakan untuk
negara Indonesia yang minus ekspornya netonya.
Berikut
perbedaan hasil analisis sebagai sampel untuk pembanding DSR dan S-Rasio beban
ULNp.
Sumber:
Diolah berdasarkan data dari bank indonesia
Kini
tinggal kita yang bisa menilai, sampai kapan sabotase ini terus berlanjut.
Oleh : Yusdin T