Saturday, April 19, 2014

Khilaf: Penilaian Beban Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia

Umur perkuliahan yang sudah tidak muda lagi membuat saya tidak bisa mengelak dalam penulisan tugas akhir untuk meraih gelar Strata 1 di universitas halu oleo. Tidak mudah menyelesaikan tulisan itu hingga berakhir di meja ujian skripsi. Waktu, tenaga dan pikiran harus dikerahkan bersamaan untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bermanfaat untuk diri, dan pihak yang membutuhkann informasi terkait tulisan yang kita buat.

Kurang lebih 5 bulan saya berusaha menyelesaikan tugas akhir itu dan Alhamdulillah tulisan itu kelar dan berhasil masuk hingga ke meja ujian. Tantangan yang saya dapatkan tidak sedikit. Mulai dari ketidak sepahaman penguji dengan saya terkait bahan dan teori yang saya masukkan dalam tulisan itu, permintaan pembimbing untuk memperlihatkan semua bahan/buku bahkan data sebagai literature yang saya gunakan hingga biaya yang cukup banyak. Cobaan ekstrim lagi adalah surat permohonan data saya ditolak oleh pihak penyedia data bank Indonesia karena dianggap tidak sesuai standar surat permohonan data.

Dibalik tantangan itu, saya juga sadar bahwa itu merupakan bagian dari perjuangan saya untuk meraih gelar sarjana dan terpenting adalah this is a process. Agak berbeda antara proses yang saya lewati pada saat memasukkan judul penelitian di jurusan tempat saya kuliah. Beberapa orang teman dalam memasukkan judul mengalami penolakan dari pihak jurusan baik karena penelitiannya kurang menarik, tidak up to date, atau sudah pernah diteliti orang lain tanpa perbedaan sedikit pun.

Judul yang saya masukkan langsung diterima oleh sekretaris jurusan IESP Fekon Unhalu karena dianggap memenuhi syarat untuk menjadi tugas akhir. Judul penelitian yang saya pilih adalah Analisis Beban Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia periode 2005-2011. Memang sedikit berbeda dengan teman-teman, judul yang saya masukkan karena sebelumnya saya telah mempersiapkan rancangan penulisan serta proposal awal untuk mendukung penelitian itu diterima. Hingga akhirnya saya diberikan pembimbing yang kompeten dibidang itu pada hari yang sama.

Saya sadar seiring berjalannya waktu, mulai dari mencoba memahami ilmu ekonomi hingga benar-benar menuangkan pengetahuan itu dalam sebuah tulisan ilmiah bahwa Indonesia adalah macan Asian yang tertidur. Semenjak Indonesia merdeka pembangunan mulai dilakukan oleh pemerintah bersama-sama rakyat diluar tekanan para penjajah. Diera soeharto Indonesia menjadi macan asia yang menjadi salah satu Negara yang dipandang dimata dunia dan akhirnya digulirkan pemerintahannya pada tahun 1998 karena dianggap tidak lagi mampu memimpin Indonesia yang dibuktikan dengan krisis yang menjadikan Indonesia drop.

Secara teoritis pembangunan di pahami sebagai suatu proses menuju perubahan kearah yang lebih baik. Kita juga memahami bahwa  perubahan yang lebih baik itu merupakan sebuah rangkaian tindakan yang tidak memberikan dampak buruk. Selain itu, pembangunan di bagi menjadi dua bagian yaitu pembangunan seimbang dan pembangunan tidak seimbang. Pembangunan seimbang yang dimaksud disini adalah pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh atau mencakup semua sector baik sector social, ekonomi hingga sector budaya.  

Sedangkan pembangunan yang tidak seimbang dapat dipahami sebagai model pembangunan yang dilakukan tidak merata kesemua sector. Dan model ini yang biasanya dilakukan oleh beberapa Negara atau khususnya kepala daerah di Indonesia. Hal ini tidak bisa serta merta diklaim sebagai bentuk pembangunan yang buruk tapi lebih pada pembangunan yang menyesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah itu. Sehingga pemerintah seoptimal mungkin untuk meningkatkan kemampuan keuangannya melalui penyerapan pajak dari masyarakat, investasi dalam dan luar negeri hingga memutuskan mengambil utang luar negeri untuk membiayai pembangunan.

Era presiden soeharto dikenal sebagai zaman dimana pembangunan Negara repoblik Indonesia didanai oleh utang luar negeri. Utang luar negeri itu di putuskan untuk dilakukan dengan tujuan mengstimulus pembangunan di Indonesia. Awalnya benar, bahwa peminjaman itu berdampak positif terhadap pembanguna Negara walaupun disatu sisi Negara menanggung beban utang itu. Beban utang luar negeri adalah kewajiban yang harus dikembalikan atau dibayarkan dalam bentuk uang kepada pihak yang memberikan pinjaman baik institusi, lembaga ataupun Negara.

Utang yang berat akan membebani perekonomian suatu Negara karena disetiap tahunnya Negara mesti menggolontorkan anggaran sekian banyak untuk membayarkan beban utang itu belum lagi bunga dan nilai pinjaman. Seiring berjalannya waktu, pembangunan terus dilakukan hingga mencapai titik maksimal.

Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang besar. Semenjak Indonesia merdeka berbagai terobosan terus dilakukan pemerintah baik dari pengembangan sumber daya alam hingga upaya nasionalisasi perusahaan yang dikuasai oleh bangsa asing. Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan ekspor minyak dan berbagai bahan galian lain hingga hasil hutan, perkebunan dan lain lain di pasar internasional. Dengan terobosan ini, Kondisi keuangan bangsa Indonesia tergolong baik dalam artian mampu menghadapi goncangan ekonomi.

Hingga saat ini pembangunan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI) tidak terlepas dari utang.  Baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri yang dilakukan pemerintah dan swasta. Aktifitas utang antara negara ini dengan negara lain hanya bersifat gali lubang tutup lubang. Negara ini meminjam uang untuk kembali menutupi utang yang sudah jatuh tempo pembayaran. Beban yang berat terus dirasakan dalam neraca keuangan bangsa ini.

Bagi masyarakat awam yang hanya tahu utangnya berapa yang ada dikios tetangganya akan hanya tersenyum melihat dan mendengar fakta utang negera. Acuh tak acuh pasti akan terlihat kepada mereka. Mereka tidak sadar dengan implikasi dari beban utang kepada mereka. Malang nasip kakek nenek, adik kakak dan keluarga kita hari ini yang masih bertanya-tanya kapan merasakan kebahagiaan atas rahmat kemerdekaan.

Utang negara menjadi beban pembangunan negeri ini. Tingkat kesejahteraan masyarakat tertunda karena harus dialokasikan untuk membayar beban utang. Beban utang negara yang semakin lama membebani anggaran APBN yang akhirnya minus pula APBN yang dari tahun ketahun dianggarkan. Kita tidak dapat berbuat banyak untuk biaya pembangunan selain utang. Kesalahan lama kini menjadi kebiasaan bagi negeri ini. Ironisnya hari ini utang luar negeri pemerintah bukan hanya terjadi karena terpaksa namun dikarenakan kepentingan politik. Motifasi utang luar negeri bukan semata mata karena kebutuhan untuk pembangunan namun dilator belakangi keinginan pemimpin negeri ini membuat dinasti yang bersifat pencitraan dinegeri ini.

Kita sadar bahwa hari ini potensi sumber daya yang ada di negeri ini miliki belum optimal dalam pengelolaannya. Masih banyak sumber daya yang tidak masuk sebagai pendapatan negara dan malah salah alamat (Pribadi). Banyak pemimpin kita terjerat hukum baik korupsi dan lain-lain.  Pengawasan pengelolaan sumber daya belum maksimal yang mengakibatkan banyaknya oknum yang merusak sumber daya itu dan menjadikan sumber daya itu sebagai pendapatan pribadi tanpa sedikit pun masuk sebagai pendapatan negara. Banyak hutan dinegeri yang dilakukan penebangan liar, barang produksi dalam negeri kalah bersaing dengan barang impor.

Kekuatan ekonomi negeri ini hampir kembali dalam jajahan pasar asing. Ketakutan kedua muncul dimana kita tidak lagi dijajah secara fisik namun dijajah secara halus namun menyakitkan (Ekonomi). Beban negeri ini semakin berat. Masyarakat jauh dari garis kesejahteraan yang baik. Yang kaya jadi kaya dan yang miskin semakin tertindas. Utang untuk anggaran pembanguna dinegeri ini terus meningkat. Tahun 2011 utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai  U$118.642 juta. Sampai kapan negeri ini akan terbebani dengan utang.

Beberapa ahli ekonomi terus berspekulasi tentang utang luar negeri Indonesia untuk membiayai pembangunan negeeri ini. Ada yang mengatakan suatu kemustahilan untuk bangsa ini terlepas dari utang luar negeri. Utang luar negeri kini menjadi lahan paling empuk untuk menjadikan tameng pembiayaan pembangunan walaupun sadar akan resikonya. Warisan beban kepada anak cucu yang berkesinambungan menjadi buah santapan di masa depan yang rasanya begitu pahit.

Hitung-hitungan ekonomi dari berbagai sumber mulai bermunculan untuk menilai apakah beban utang negeri ini masih tergolong rendah atau sudah mencapai titik angker yang jika dilewatinya sama halnya lompat ke dalam jurang api neraka. Beberapi model dan metode diciptakan untuk menilai kemampuan suatu negara dalam menanggung beban utangnya. Salah satu dari beberapa model itu digunakan bangsa kita dulu dan hingga saat ini.

Otoritas keuangan pun menggunakan hitungan-hitungan dalam menilai beban utang negara ini. Salah satu metode analisis yang digunakan adalah DSR (Debs Service Rasio). DSR digunakan untuk melihat apakah negara itu masih ememiliki kemampuan untuk membayar kembali utang-utangnya. Al hasil ya seperti itu. Hitungan ini terus menunjukan bahwa beban utang luar negeri kita masih dalam taraf wajar dalam artian potensi sumber daya yang dimiliki bangsa ini akan mampu menutupi beban utang itu. Padahal bisa saja hal itu juga karena latar belakang politik.

PDB Indonesia digadang-gadang masih mampu membiayai beban utang negar ini. Padahal apabila dilihat dalam penlitan,  pada tahun 2005 hingga tahun 2011, Rasio Utang Kumulati (KUR) kita terhadap PDB berada diatas garis psikologis dengan satandar 30 persen. Rata rata RUK kita dari tahun 2005 hingga 2011 mencapai 35 persen.  Angka ini menunjukan bahwa kewajiban finansial dari pemerintah terhadap besarnya kapasitas produksi yang digambarkan dengan PDB  masih cukut tinggi. 35 persen dari PDB kita mesti dialokasikan untuk membayar beban utang dan cicilan utang luar negeri khususnya pemerintah.

Kita mesti membebankan 35 persen PDB untuk membayar beban utang.  Seharusnya PDB ini, yang nilainya hingga milyar hingga triliunan bisa dialokasikan untuk membentuk kesejakteraan rakyat. Faktanya apa? Negara ini terus melakukan utang. Pembiayaan pembangunan seakan menemuai jalan buntu. DSR lagi-lagi menjadi kambing hitam untuk melakukan utang. Bisa dilihat bahwa DSR yang menghitung beban utang luar negeri pemerintah Indonesia memang masih menunjukan angka yang relative aman. Rata rata berdasarkan hitungan DSR, beban utang luar negeri pemerintah Indonesia masih tergolomg aman yang hanya berada pada kisaran 1 hingga 21 persen baik yang dibandingkan dengan ekspor bersih, ekspor kotor sektor migas, non migas. Selama ini batas aman yang digunakan dalam melihat tingkat kemampuan negara dalam mencicil utang dan beban utang dalam DSR adalah 20 persen. Karena angka DSR itu masih berada dibawah 20 persen sebagai batas aman, sehingga pemerintah masih dengan tenang untuk berutang.

Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana status perhitungan dengan metode DSR itu. Apakah DSR masih pantas digunakan untuk menilai kemampuan negara ini dalam membayar beban utang dan utangnya. DSR pada hakikatnya dapat digunakan kepada negara yang memiliki surplus ekspor karena metode ini membandingkannya dengan ekspor suatu negara. Negara yang notabenenya ekspornya lebih rendah disbanding dengan impornya tidak boleh menggunakan metode ini karena tidak tepat.

Melalui tulisan ini pula saya ingin menghangatkan metode S-Rasio yang diperkenalkan oleh Sritu Arif. Berdasarkan hasil penelitian yang saya dapatkan bahwa angka S-Rasio utang luar negeri pemerintah Indonesia berbeda dengan perhitungan menggunakan metode DSR. Kita bisa lihat bahwa angka DSR pada tahun 2005 hingga tahun 2008 masih relative aman. Hal ini berbeda hasilnya dengan penghitungan S-Rasio yang selama 3 tahun itu yang beradah dibawah garis kemampuan suatu negara dalam menanggung beban utang.

Dalam metode S-Rasio ditentukan apabila nilai S-Rasionya masih berada diatas angka 1 atau satu maka dinyatakan bangsa itu masih mampu menanggung beban utangnya. Namun, apabila itu berada dibawah angka 1 maka segharusnya pemerintah mengurangi kebiasaan mengutang itu karena akan sangat membebani dan berpotensi menghilangkan nilai kesejahteraan asyarakat yang seharusnya diperoleh.

Tahun 2009 angka S-Rasio utang luar negeri pemerintah Indonesia mengalami peningkatan melebihi angka 1. Artinya memang pada tahun ini cadangan devisa kita mencukupi untuk membayar beban utang Luar negeri pemerintah Indonesia. Hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana dengan tahun berikutnya. Kita bisa melihat angka penurunan S-Rasio itu yang kembali muncul. Ini menggambarkan bahwa ada pelemahan cadangan devisa kita dan sebaiknya pemerintah meresponnya dengan mengurangi utang luar negeri itu. Karena jika pemerintah mampu meredam laju kapasitas outstanding utang karena disisi devisa netto masih mencukupi untuk membiayai beban utang luar negeri pemerintah Indonesia, Diwaktu yang bersamaan, masyarakat akan mendapatkan manfaat yang lebih besar karena pengurangan pajak dalam negeri.


Pada dasarnya S-Rasio itu digunakan untuk melihat kemampuan negara menanggung beban utangnya seperti metode DSR. Namun dalam metode ini membagikan nilai saldo transaksi berjalan yang tidak termasuk bunga utang luar negeri  dengan cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah Indonesia. Sehingga tepat adanya jika metode ini digunakan untuk negara Indonesia yang minus ekspornya netonya. 

Berikut perbedaan hasil analisis sebagai sampel untuk pembanding DSR dan S-Rasio beban ULNp.

 Sumber: Diolah berdasarkan data dari bank indonesia

Kini tinggal kita yang bisa menilai, sampai kapan sabotase ini terus berlanjut.

Oleh : Yusdin T

No comments:

Post a Comment