Friday, February 27, 2015

Sang Ibu Di Ujung Kolaka



Dua hari berada di lokasi pengambilan data penelitian tentang pola konsusmis pangan dan gizi masyarakat di kabupaten kolaka, memberi banyak informasi dan pengetahuan baru tentang fakta masyarakat disana. Kabupaten kolaka dikenal sebagai salah satu wilayah yang hampir menyamai kota kendari dalam hal kecepatan pembanguanan. Wajar juga karena boleh dibilang wilayah sana adalah daerah dolar karena apa apa mahal juga kemampuan daya beli masyarakat cukup baik. salah satunya menurut banyak orang karena hadirnya tambang yang juga memicu tingkat harga dimasyarakat.

Pembangunan yang merata itu faktanya sangat sulit untuk di implementasikan. Pembangunan yang merata yang saya maksud adalah perbaikan ekonomi secara merata yang dilihat dari tiga unsur yaitu sandang, pangan dan papan. Sejauh ini pemerintah terus berusaha mengambil kebijakan yang diarahkan untuk pembangunan daerah yang diharapakan mampu mengsejahterkan rakyat secara merata.

Salah satu lokasi pengambilan data saya dikabupaten kolaka yaitu kecamatan Toari. Kecamatan toari adalah kecamatan yang berbatasan langsung dengan kabupaten bombana. Potensi dikecamatan ini adalah perkebunan seperti cokelat, kelapa dan beberapa tumbuhan perkebunan lain seperti sawit. Secara umum penduduk disana memiliki tingkat kemampuan ekonomi cukup. Pendapatan rata-rata yaitu diatas 1.000.000. sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani coklat dan buruh perkebunan. Walaupun hanya sebagai petani tapi kebutuhan mereka terpenuhi, karena beberapa factor. Pertama, perkebunan yang mereka miliki cukup besar dan yang kedua dengan adanya lahan yang besar sangat memungkinkan untuk beternak pula.

Salah satu warga dikecamatan toari saat saya wawancara mengatakan salah satu petani sukses dikecamatan ini adalah bapak yang didepan rumahnya, dia hanya seorang petani cokelat tapi cokelatnya ada 3 hektar. Sementara itu peternakan kambingnya lebih dari 100 ekor.

Menurut pengamatan saya sebagian besar masyarakat memiliki rumah permanen dan hanya beberapa orang yang memiliki rumah semi permanen. Sebagian masyarakat disana adalah penduduk transmigrasi. Walaupun dekat pula dengan laut, namun masyarakat disana condong memilih perkebunan. Dikecamatan toari hanya memiliki satu buah pasar umum namun tidak berfungsi setiah hari. Hal ini pulalah yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat dikecamatan toari.

Mengkonsumsi ikan itu, menjadi kebiaaan konsumsi jarang yang mereka lakukan, tahu dan tempe menjadi hidangan wajib bagi mereka atau telur gorang. Untuk memperoleh ikan segar itu cukup sulit karena kondisi pasar tadi dan masyarakat yang tidak memilih untuk melaut.
Ditengah tengah itu, dari banyaknya penduduk yang berbaur dengan penduduk trans dan asli kolaka, ada hal yang menganjal bagi mereka. Dalam wawancara itu, adanya informasi tambahan diluar penelitian itu sangat memungkinkan apalagi dalam komunikasi sudah cair dan berjalan lancer. Adanya ketidak adilan bagi penduduk pendatang menjadi pembicaraan ibu yang saya wawancarai. Dia merasa dalam penyaluran bantuan social, ada tebang pilih didialamnya. Ibu itu bercerita dalam suatu kejadian tahun 2013 waktu terjadi banjir yang menggenangi kabupaten kolaka, rumah ibu itu dan beberapa tetangganya rusak dihantam banjir. Beberapa hari kemudian, ada petugas yang ditugasi oleh pemerintah kabupaten untuk melakukan pendataan terkait korban banjir. Dalam pendataan itu dia adalah salah satu korbannya. Dengan jelas dia melihat nama dan informasi kerusakan terkait rumahnya yang dia sebut pondo-pondo itu.

Menurut hemat saya, dia sangat pantas untuk mendapat bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki rumah yang telah ditimpa banjir itu. Dilingkungannya, ada 3 rumah yang diidentifikasi menjadi rumah yang akan diberi bantuan perbaikan rumah. Beberapa bulan kemudian datanglah bantuan itu berupa bahan bangunan untuk memperbaiki rumah tinggal penduduk yang mengalami kerusakan. Ibu itu tersenyum dengan mengucap syukur kepada tuhan. Diwaktu bersamaan semua bahan bangunan telah dibuang atau diturunkan persis didepan rumah masing-masing penduduk yang akan dibantu perbaikan rurmahnya. namun seiring waktu berjalan tak satu pun bahan bangunan yang turun dihalaman rumahnhya yang sudah rusak.

Hingga kelar dua rumah yang ditetangganya itu, tak satupun ada yang datang memberi informasi tentang perbaikan rumahnya. Ibu asal Bali itu mulai merasa ada yang tidak benar dan merasa ada kecurangan didalamnya. Akhirnya ibu itu memberanikan diri untuk bertanya ketika ada petugas pendataan itu datang mengecek hasil perbaikan rumah-rumah yang didatanya.
 “Pak itu hari rumah saya didata untuk perbaikan, disini kami ada tiga rumah, kok rumah saya sampe sekarang belum diperbaiki?
Petugasi itu menjawab dengan tenangnya. “Maaf bu rumah ibu tidak diliat.
Ibu itu bingung dan sangat bersedih dengan jawaban itu.
“Memang rumah saya kecil pa tapi masa rumah yang dibelakang saya dilihat sementara saya yang didepan tidak diliat. Sambung ibu itu.

Inilah pengakuan ibu itu kepada saya waktu wawancara. Ada fakta permainan menurut saya dalam hal ini. Pertama, faktanya dalam pendataan itu, sang ibu di data namun dalam implementasinya dia dihapuskan dari daftar rumah yang akan diperbaiki. Selain itu ada benarnya ibu itu mengungkapkan masih ada pembedaan antara masyarakat local dan trans yang berada diwilayahnya. Adalah sangat penting bagi pemimpin penentu kebijakan memperhatikan hal ini. Karena hal seperti ini terjadi di tangan kedua atau ketiga ditahapan implementasi. Mengingat adanya kepentingan yang selalu menyelimuti tindakan pelaksana walaupun didalam hal urusan kegiatan social.

Wasalam……..

No comments:

Post a Comment