Friday, February 21, 2014

Desa Seribu Potensi : Sudut Mata Untuk Petani Nilam di Maligano


Antusias adik bungsuku untuk jalan-jalan keliling kampung begitu berapi-api. Maklum setelah hampir enam bulan saya tidak pulang kampung karena disibukkan dengan kegiatan dikampus akhirnya ada waktu sengga untuk pulang kampung. Ditengah kesibukkan adik perempuanku menjaga kios sembako yang di buka oleh ibu, saya mengajaknya untuk ikut serta menikmati indahnya kampung halaman disore hari. Sijago merah (Bukan Api) mengantar kami keliling hingga melewati beberapa desa tetangga.

Dengan suara mulusnya bagai putri anggun turun dari tangga istana tanpa bunyi sentakan kaki terus mendaki bukit demi bukit hingga sampai di desa Raimuna yang jaraknya hingga 4 kilo meter setengah dari rumah. Sijago merah berhenti tepat di perempatan menuju kabupaten buton utara yang sekarang menjadi terminal mobil yang menunggu penumpang untuk meneyeberang dari raha tujuan ke buton utara yang dekat dengan tujuan kunjungan kami.

Maligano yang dulunya minim mobil, Alhamdulillah hari ini berkat usaha pemerintah dengan membangun jalan yang layak, akhirnya jalur dari kabupaten satu ke kabupaten lain menjadi mudah untuk dilalui dengan menggunakan kendaraan roda 4. Dimasa kecilku mobil itu menjadi barang langka yang masuk dikampungku seperti mobil avanza, terios atau jenis lainnya kecuali truck. Tapi  berbeda dengan kendaraan laut seperti kapal kayu, bodi batang, sampan dan lain-lain yang digunakan sebagai kendaraan laut, itu hamper bisa ditemukan disetiap sisi pantai.

Seiring berjalannya waktu keadaan itu berubah. Daerah kami punya dermaga yang cukup baik, terminal mobil yang cukup bahkan jumlah mobil tak terhitung lagi. Penumpang yang berniat ke buton utara bila menyebrang dari kota raha tidak perlu khawatir lagi karena mobil siap mengantar ketujuan, asal ke terminal karena mobil tidak datang menjemput ke pelabuhan. Jarak antara pelabuhan dengan terminal itu sekitar 3 kilo meter dari pelabuhan sehingga penumpang mobil dari pelabuhan harus naik motor atau ojek untuk sampai ke terminal.

Naik ojek bukan keinginan namun aturan main yang menghendakinya. Ada aturan yang disepakati antara sopir mobil yang mencari penumpang dengan tukang ojek. Di kecamatan maligano, selain bertani dan melaut, mata pencahariannya sebagai tukang ojek. Jadi karena ojek lebih dulu muncul, jadi regulasinya mobil hanya bisa mengambi penumpang diterminal karena kalau mobil datang menjemput ke pelabuhan maka tukang ojek yang berprofesi sudah bertahun-tahun ini bakal kehilangan perkerjaan artinya pengangguran akan bertambah dan ujungnya akan pada ketidaktenangan lingkungan.

Tak lama kemudian saya  mengparkirkan sijago merah ‘”sebutan motorku di bawah pohon beringin dekat terminal mobil dan menghampiri warung makan bibiku yang dibangunnya tidak jauh dari rumah dan terminal tadi. Karena pada dasarnya bibiku baik hati dan tidak sombong, saya dipersilahkan untuk mencicipi beberapa jualan yang dibuatnya mulai dari ubi goreng, sukun goreng, hingga pisang goreng. Kalau makan berat yang dijualnya ada ikan bakar, dan ada juga es pisang ijo tidak ketinggalan roti goreng serta jagung rebus. Tapi tentunya saya tidak mencicipinya satu persatu karena mau ditaruh dimana.

Ditengah asiknya menikmati potongan sukun goreng bersama kedua adikku yang malu-malu tapi mau tambah, dan bibi yang asyik menggoreng potongan sukun yang lain saya menghampirinya untuk menanyakan sesuatu tentang usaha warung makannya. Pertanyaan pertama yang saya ajukan tentang seberapa banyak pengunjung yang datang makan diwarung ini. Dengan wajah yang berminyak serta tangan yang berlumur terigu dia menjawab kalau pengunjung itu pasang surut. Kadang banyak kadang tidak tergantung jika ada momen atau ada acara yang mau dihadiri di kabupaten sebelah. Karena mereka pasti singgah untuk istrahat baik langsung makan siang atau hanya singgah menunggu penumpang lain untuk mengisi kursi kosong mobil yang satu tujuan.

Setelah dia menceritakan banyak hal tentang warungnya baik dari tantangan, persaingannya dan hal-hal lain hingga tentang sekolah anak-anaknya yang juga sepupu-sepupuku, saya coba mengajukan pertanyaan paling sensitive yang biasanya berlaku kepada para pedagang yaitu tentang pendapatannya. Alhamdulillah walaupun terlihat lelah diwajahnya namun dia tetap dengan semangat menjelaskannya kepada saya dan ternyata pendapatannya dalam satu hari itu bisa mencapai 500 ribu kalau sunyi dan bisa menjapai diatas satu juta kalau sedang ramai pengunjung menarik bukan?

Menurut info dari dia selain warung makan yang laris, salah satu barang yang cukup laris adalah bensin. Karena pengendara kendaraan bermotor yang melakukan perjalan jauh antar kabupaten tadi lebih memilih untuk singgah mengisi bensin di situ karena mereka bisa langsung istirahat, minum kopi, merokok sembari menunggu teman yang akan melakukan perjalanan searah karena dalam perjalanan nanti melewati hutan rimba yang belum disentuh oleh manusia keberadaannya dan penuh cerita horror.

Berselang beberapa menit terdengar panggilan PIIIIIIIS dari belakang warung makan. Ternyata itu adik sepupuku yang memanggil sambil menancapkan satu persatu batang nilam ke dalam polibag. PIIIIIIIS adalah cara kami memanggil dalam lingkup keluarga. PIIS itu kalau dipanjangkan dan aslinya adalah PISA. PISA merupakan bahasa muna yang berarti sepupu jadi apa bila ada kalimat anoa pisaku itu artinya dia sepupuku. Aini pisaku artinya ini sepupuku dan awatu pisaku artinya sana sepupuku.

Ditemani sang ayah yang memotong satu demi satu batang nilam yang bakal ditanam dalam polibag sementara sebelum dipindahkan ditanah untuk dibesarkan, dia dengan semangat dengan ditemani siulan merdu terus menancapkan batang batang siap tanam itu kedalam polibag. Nilam dalam bahasa latin disebut sebagai Pogostemon Cablin Benth). Dalam perdagangan internasiona minyak nilam ini dikenal dengan sebutan  minyak patchouli yang artinya daun hijau yang dikarenakan minyak bersumber dari dedaunan hijau tumbuhan nilam. Pada dasarnya tumbuhan yang menghasilkan minyak ini digunakan sebagai pengharum pakaian atau biasa disebut Parfum. Bahkan di india minyak nilam ini digunakan sebagai pengharum permadani (wordpress.com).

Ada hal baru bagi saya setelah mendengarkan pengakuan sang ayah dalam bincang bincang kami bahwa ternyata tidak semua batang nilam bisa tumbuh dengan baik apabila pemotongannya tidak tepat.  Karena, agar nilamnya bisa tumbuh cepat dan bagus, potongannya itu harus tepat dekat pada bagian ruasnya dan harus disisakan beberapa helai daun mudah.

Waktu yang digunakan hingga nilam siap dipindahkan dari polibag ke tanah memakan waktu hingga dua minggu. namun tergantung pada kesiapan nilam sepenuhnya jika akan  dipindahkan yang ditandai dengan munculnya akar-akar baru dari barang nilam. Dilakukannya polibag ini dimaksudkan untuk mempercepat proses munculnya akar, tunas dan terpenting lagi dapat  ditempatkan ditempat yang teduh hal ini dilakukan untuk  menjaga terik matahari yang berlebihan karena bisa berakhir pada layunya bibit nilam yang mulai tumbuh dengan dibuatkannya atap penahan terik matahari yang menyinari secara langsung. Mungkin ada cara lain dalam proses pembibitan hingga penanaman nilam ini tetapi inilah cara yang mereka tempu para petani nilam disana.

Selain itu dalam proses polibag tadi kita bisa mengontrol kebutuhan air dari nilam itu agar  bisa tumbuh dengan subur. Pohon nilam yang telah dipanen sebelum diproses untuk menghasikan minyak nilam harus dijemur terlebih dahul agar minyak yang dihasikan banyak dan harum. Proses penjemuran nilam itu bisa memakan waktu hingga satu hari dan ditandai dengan istilah patah lidi (orang setempat) menyebutnya. Patah lidi artinya batang nilam yang dijemur itu apabila dipatahkan tidak serta merta satu batang nilam tadi menjadi dua tetapi tetap satu walaupun patah. Patah lidi inilah yang menandakan nilam itu sudah siap untuk diolah agar menjadi minyak nilam. Batang dan daun nilam bisa tercium aroma wanginya terkecuali sudah mengalami proses penjemuran atau nilam itu kering.

Dalam proses pemasaranya juga tidak terlalu sulit. Karena didesa lain yang masih dalam kabupaten sudah memiliki alat penyulingan minyak nilam seperti di desa kambara, desa guali dan beberapa desa lagi seperti barangka dan wakorambu. Namum salah satu kendala yang sering dihadapi adalah kurangnya modal dari penampung sekaligus pelaku penyuingan. Beberapa kali mereka (petani) nilam ini memenuhi permintaah para penyuling tadi tapi terkadang mereka tidak mendapatkan bayaran full dan terpaksa mereka harus menunggu karena daripada di tamping dirumah yang berpotensi menurunkan berat dari nilam itu sehingga dengan sangat terpaksa mereka rela menunggu.

Hal lain yang menjadi tantangan dari para petani nilam adalah permainan para penyuling yang notabenenya pebisnis yang mengklaim bahwa nilam yang mereka miliki para petani dicampur dengan daun-daunan lain. Menurut  mereka nilam itu tidak bisa laku terjual. padahal, itu hanya permainan mereka agar para petani bisa menjual murah nilam yang mereka miliki ungkap seorang pengumpul nilam disana.

Beberapa orang petani nilam dikecamatan maligano juga merangkap sekaligus sebagai pengumpul dari petani. Walaupun jumlahnya tidak begitu banyak namun persaingan diantara mereka sangat ketat dengan cara memainkan informasi harga. Terkadang mereka mengambil dari petani 3 ribu rupiah per kilogram nilam kering, karena persaingan dikalangan pengumpul ini harga jualnya juga bisa mencapai 5 ribu perkilo gram walaupun angka ini jarang di capai.

Dalam kondisi tanah yang subur di kecamatan maligano seharusnya menjadi surga bagi para petani nilam. Namun apa daya sokongan pasar yang terbatas membuat mereka menjadi petani yang mengeluarkan keringat banyak namun degan penghasilan yang kurang. Memang dari penghasilan mereka yang menyuling cukup besar karena setengah ton nilam yang dilakukan penyulingan bisa mencapai harga jual 70 jutaan.

Harga terrendah yang pernah diterima para petani yaitu 1500 per kilogram. Bisa kita bayangkan begitu murahnya harga jua yang mereka dapatkan dibandingkan dengan kerja keras mereka hingga menghasilkan nilam kering tersebut. Ini  terjadi ketika pertama kalai mereka memanen nilam yang ditanamnya. Para petani menjual dengan harga yang sangat murah karena mereka tidak punya pilihan atau mau dibawa kemana hasil pertanian itu. Dalam kondisi seperti ini mestinya fungsi pemerintah daerah dijalankan dengan baik. Pemerintah mestinya menyediakan pasar bagi para petani untuk menjual hasil panen nilam mereka dengan harga beli yang memadai bagi para petani.

Seorang petani nilam disana pernah mengungkapkan merencanakan untuk membeli alat penyulingan sendiri dan ternyata harga penyulingan itu lebih dari 50 jutaan bahkan hingga mendekati angka 100 juta. Logikanya kalau hanya sekedar petani yang bermodalkan semangat kerja dikebun sangat sulit untuk mampu membeli alat semahal itu apalagi dengan harga jual nilam mereka yang relative rendah. Pemerintah mestinya memberikan solusi, apakah membangun industry penyulingan, atau kah memberikan bantun kepada masyarakat petani nilam dengan model berkelompok kemudian para petani diberikan alat penyulingan atau lebih jauh mencari investor yang siap menampung hasil pertanian nilam itu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ini adalah masalah yang sedang bangsa hadapi ditengah upaya bangkit dari keterpurukan. Kita ingat dulu bahwa Negara kita pernah menjadi macan asia karena kekuatan ekonominya tapi faktanya bagaimana dengan kondisi sekarang? Cukup memprihatinkan. Para petani belum bisa menikmati hasil keringatnya dengan sesegera mungkin. Para petani masih bingung dengan pasaran hasil perkebunan mereka.

Memang jumlah petani nilam di Maligano sekarang ini belum sebanyak semut yang ditumpahkan gula pasir sesendok makan di lantai. Namun  potensi itu ada dengan daya dukung lahan yang luas, kesuburan tanah, serta kerja keras petani yang mengesankan. Beberapa petani berharap masalah yang mereka hadapi dapat cepat terselesaikan dan jumlah petani nilam bisa bertambah serta kesejahteraan masyarakat bisa tercapai. karena merekapun mengungkapkan itu “ kami sebenarnya mau menanam nilam tapi mau dijual kemana? Kalaupun ada harganya rendah sekali”


Akhir tinta semoga pemerintah daerah cepat merespon. 

No comments:

Post a Comment